Skip to main content

[RANDOM TALK] FIKSI SEJARAH BUKAN HANYA FIKSI. KAMU MAU MENULISNYA? RUJUKANMU DARI MANA?


Rahayu~

Setelah lama bersemadi, semalam saya mendapatkan wangsit untuk menulis post ini. Thanks to Kakak di Grup Absurd yang telah memberikan ide kepada saya untuk membuat postingan ini (saking absurdnya, grup itu sudah berganti nama entah berapa ribu kali, dan saat saya menulis post ini, nama grup itu untuk sementara ini adalah Rekrutmen Anggota. Plis, jangan tanya alasan pemilihan nama ini. Too absurd to be told.) 😅

Seperti label pada judul di atas, post kali ini adalah Random Talk, jadi ini hanyalah cuap-cuap saya, ya. Celotehan saya mengenai Fiksi Sejarah. Barangkali setelah membaca postingan ini, kalian yang hendak menulis fiksi sejarah bisa mendapatkan semacam wangsit. Mak tuing! Muncul penerangan seperti di kartun-kartun, begitu. 😁

Oke, menurut definisinya di Wikipedia, Fiksi Sejarah adalah sebuah genre kesusastraan yang alurnya terjadi dalam sebuah setting yang terjadi di masa lampau. Unsur penting dalam Fiksi Sejarah adalah bahwa karya tersebut berlatar belakang masa lampau dan berisi adat istiadat, keadaan sosial, dan penjelasan lainnya dari periode yang disebutkan. Pengarang juga dapat memilih untuk mengeksplorasi figur-figur sejarah terkenal dalam setting tersebut. Nah, pada beberapa subgenre seperti Sejarah Alternatif dan Fantasi Sejarah, pengarang juga bisa memasukkan unsur-unsur spekulatif atau ahistoris ke dalam novel.

Dari situ, dapat kita simpulkan bahwa dalam menulis Fiksi Sejarah, hal pokok yang kita perlukan adalah kesesuaian antara setting yang kita tulis dengan keadaan (mendekati) sebenarnya pada masa yang kita sebutkan. Saya sebut "mendekati" karena kehidupan di masa lampau terutama yang jarak waktu-nya sangat jauh, hanya bisa kita spekulasikan wujudnya seperti apa. Nah, yang kita lakukan adalah pendekatan-pendekatan seperti wujud rumah-rumah penduduknya atau bahasa yang mereka gunakan. Dan... untuk membuat Fiksi Sejarah yang kita tulis bisa berterima di kalangan pembaca, ada baiknya (bahkan sangat baik karena inilah unsur pentingnya!) kita pun mengambil rujukan-rujukan sejarah.

Mari kita melompat sedikit. 😁

Semalam, Kakak yang saya sebutkan di atas itu curhat di grup. Beliau bertanya, seperti yang saya kutip, "Sejauh mana kita bisa mengubahnya jadi fiktif? Berapa persen kadar kefiksian yang bisa kita masukkan dalam Fiksi Sejarah yang kita tulis?"

Pertanyaan itu sendiri muncul tersebab status beliau yang membicarakan gagasan beliau tentang Fiksi Sejarah yang hendak beliau tulis, menuai "kecaman" dari ahli sejarah setempat (Sumut, red.).

Diskusi pun bergulir di grup. Saya membacanya telat, dan sejujurnya belum melihat komentar/kecaman yang dimaksud ketika saya melemparkan jawaban di grup. Untuk ini saya minta maaf. Mungkin, tanggapan saya semalam juga kurang tepat. 😅

Kebiasaan saya, membaca lebih dulu diskusi di grup, komentar-komentar yang ada, sebelum menengok kepada sumber pokoknya. Dan... dari diskusi di grup, saya lebih dulu terganggu dengan komentar seorang kawan yang berkata, seperti saya kutip, "Lagi pula ini, kan, hanya fiksi."

Pandangan saya langsung menggelap membaca komentar itu. Siapa pun yang berkata demikian, sedekat apa pun, saya nggak bisa menoleransi pernyataan itu. Maaf. Padahal, mungkin saja maksudnya nggak seburuk itu (berlindung di balik tameng "namanya juga fiksi"). Tapi, yah... it's me. Haha. 😅

Sisihkan bagian diskusi teman-teman, ya. Kita langsung menuju pada ocehan saya.

Berdasarkan pengalaman, saya pun menyarankan kepada si kakak agar mengajak tokoh yang dimaksud itu berdiskusi. Melibatkan orang yang memahami sejarah dalam proyek menulis kita bukanlah suatu hal yang buruk, kan? Siapa tahu, nanti setelah berdiskusi, beliau bisa memahami kita dan kita pun bisa memahami maksud beliau sehingga kita bisa bersama-sama dengan beliau yang memahami sejarah itu untuk menemukan solusi, menemukan alternatif dalam menyampaikan sejarah yang ada dengan kemasan fiksi. Akan tetapi, si kakak berkata bahwa dia sudah telanjur ilfil dengan tokoh itu. Padahal, di luar kejadian "kecam-mengecam" itu si kakak sudah berencana menjadikan beliau salah satu narasumber untuk proyeknya itu. Apa boleh buat, kita tidak bisa memaksakan seseorang untuk berdiskusi dengan orang yang tidak disukainya. #shrug

Ini komentar saya setelah melihat screen shoot dari komentar "kecaman" yang dimaksud:

"Mbak Sensor (Oke, tertawalah di sini 😅), maaf sebelumnya, tapi saya nggak melihat adanya kecaman di situ. Saya nggak melihat hal yang buruk dari komentar itu. Mungkin karena saya nggak tahu juga sejarahnya gimana. Tapi, saya setuju bahwa untuk nama-nama yang ada, bagaimanapun kita mengolah alur ceritanya, untuk bagian sejarahnya hendaknya nggak dilupakan."

Sedikit kasar? Uh... saya menyampaikan sesuai dengan apa yang saya pahami. Dan, sejauh ini, baru sebatas itulah pemahaman saya. Kalau masalah penyampaian, saya kira orang yang sudah kenal lama dengan saya akan mafhum dengan itu. 😅

Maaf juga buat Mbak Sensor, seharusnya saya mendukung sampean, tapi saya tidak bisa melakukannya. Maksud saya, yah, tentu saja saya mendukung sampean. Tapi, saya sungguh tidak melihat adanya kecaman dari komentar yang sampean screen shoot itu. Janganlah Mbak Sensor KO hanya karena satu komentar begini. Anak Pedas harus bisa melompat lebih tinggi setelah jatuh tersandung. Setuju? 😇

Oke, kembali ke bahasan pokok.

Karena si kakak juga bertanya mengenai sejauh mana kita bisa memasukkan unsur fiktif dan berapa persentasenya, saya pun menyertakan beberapa contoh tulisan saya yang bergenre Fiksi Sejarah. Sekali lagi, ini hanya berdasarkan pengalaman saya. Nggak wajib diikuti kalau kalian merasa ini nggak sesuai dengan kalian. Nah, inilah beberapa contoh yang saya maksud:

  • Bara Kesumat itu fiksi. Tapi, setting saya ambil sejarah yang sebenarnya. Singhasari itu fakta. Saya bahkan mencari informasi letak kerajaannya, dugaan bentuk istananya, raja yang memerintah saat itu didampingi oleh patih siapa, dan sebagainya. Di Bara Kesumat, desa-desa yang ada mayoritas fiksi, kecuali Desa Panumbangan. Itu benar-benar ada. Bahkan, disebutkan dalam Negarakretagama. Di sini, riset pun dilakukan meski hanya untuk desa yang muncul selewatan. Kejadian Ken Arok (yang ada disebutkan dalam Bara Kesumat) itu benar-benar ada dalam Pararaton. Tapi, soal rajah sapa pati yang terlibat itu fiksi. Makanya di bawah bagian yang menyebutkan itu saya kasih footnote, "Fiksi, tidak ada hubungannya dengan sejarah yang sebenarnya".

  • Perang Terakhir itu fiksi. Pertarungan dan peperangan di situ ditulis secara fiktif. Akan tetapi, tokoh utama Gubar Baleman, tokoh yang disebut sekilas Pangeran Mahisa Wulungan, dan sosok Ken Arok itu benar-benar ada disebutkan dalam Pararaton. Penggambaran bahwa "Pasukan Tumapel" seperti banjir bandang juga ada disebutkan dalam kitab tersebut.

  • Sang Penari itu fiksi. Sosoknya juga fiksi. Diceritakan hidup di masa Kertanegara (Singhasari). Diceritakan bahwa Kertanegara tertarik padanya itu fiksi. Akan tetapi, soal Kertanegara yang tertarik dengan banyak wanita dan memiliki banyak selir itu menjadi spekulasi para ahli sejarah.

  • Sang Ratu itu fiksi. Kata-kata, alur, dll-nya fiksi. Akan tetapi, Kerajaan Kaling itu fakta. Ratu Simha benar-benar ada. Dan, kisah tentang sang ratu yang hendak memenggal putranya karena melanggar peraturan (tanpa sengaja) itu ada dalam catatan sejarah. Meski demikian, tidak disebutkan siapa nama pangeran tersebut, sehingga dalam penulisannya pun saya hanya menyebutnya sebagai Pangeran Pati.

  • Contoh lain, Mendung Menggantung di Langit Majapahit itu fiksi. Akan tetapi, kisah tentang Ranggalawe ada dalam Kidung Ranggalawe.

 

Itu beberapa contoh saja. Terkait persentase fiksi-nya, bisa disimpulkan sendiri, kan?


Saya adalah orang yang lebih mudah mempelajari sesuatu dari contoh-contoh yang ada. Oleh karena itu, saya pun lebih sering menerangkan sesuatu (sejauh yang saya pahami) dengan contoh-contoh. Contoh lain yang lebih konkret bisa kita temukan dalam Tutur Tinular, Api di Bukit Menoreh, Senopati Pamungkas, Panji Wirapati, dan sebagainya.

Yang ingin saya katakan adalah... kita bisa dan bebas menuliskannya seperti yang kita inginkan, tetapi hendaknya tetap memiliki rujukan. Sehingga, ketika kita diberikan pertanyaan, "Rujukannya dari mana?" kita bisa menjawab dengan mantap. Kita memiliki kuda-kuda yang kuat berpijak.

Karena, Mbak Sensor (buset, ini nggak konsisten banget, sih, yang diajak ngomong. Antara ndleming sendiri, ngobrol sama pembaca, dan ngomong sama Mbak Sensor. Semacam random ababil banget! 😅), setelah saya scroll percakapan sampean di reply kolom komentar "kecaman" itu, saya hanya bisa tertawa. 😂😂😂 Saya tahu maksud sampean, saya paham. Akan tetapi, cara sampean menanggapi komentar itu agak-agak menggelikan. Pantas saja beliau tetap menyudutkan dan sampean merasa terkecam! 😅😅😅

Mbak Sensor, tanggapan yang sampean berikan itu bukanlah jawaban, tetapi sangkalan. Kenapa saya bilang demikian? Coba baca ulang percakapan kalian dan perhatikan ini.

Saat itu, beliau yang tersebut bertanya, seperti saya kutip, "Rujukannya dari mana?"

Dan... inilah yang sampean katakan: "Ini memang bukan buku sejarah. Ini novel alias fiksi. Pernah baca buku ini dan buku itu?"

Lihat? Sampean sedang menunjukkan sikap defensif. I'm sorry but I have to say this. Yang sampean lakukan itu sama dengan orang-orang yang nggak mau mendengarkan kritik dan saran. Tentu, saya sering bertemu dengan orang seperti ini. Yang, menurut mereka, sikap saya dalam berkomentar itu arogan dan sebagainya. Tapi, yang menggelikan adalah, saya bisa mengatakan hal yang sama untuk orang-orang itu. Dan, saya yakin kita pun pernah menghabiskan banyak waktu untuk menertawai orang-orang seperti itu dalam obrolan-obrolan absurd kita. Benar? 😁

Sejujurnya, saya pun sering mendapat komentar seperti yang sampean terima itu. Bahkan, bisa lebih... apa, ya, istilahnya... hm... sampean tahu, kan, ketika saya dalam mode berkomentar dengan kritik dan saran? Yah, seperti itulah. Mungkin, itu juga sebabnya di atas tadi saya bilang saya nggak melihat adanya "kecaman" di sana.

Temans (kali ini buat kalian semua, wahai teman), ketika kalian menulis sebuah Fiksi Sejarah dan ada yang menanyakan tentang rujukan (bagaimanapun bentuk kalimatnya atau cara penyampaiannya, fokuslah pada kata rujukan atau sumber karena ini kuncinya), jawablah sesuai dengan yang ditanyakan. Katakan bahwa kalian merujuk pada sumber ini dan sumber ini, atau diskusi dengan pihak ini dan pihak ini. Itulah hal pertama yang harus kalian sampaikan. Jangan malah menunjukkan sikap defensif. Bukan berarti itu tidak boleh, tetapi letakkan bagian defensif itu di belakang. Jangan keluarkan kecuali orang yang berkomentar itu tetap kukuh dengan komentarnya dan mengabaikan rujukan-rujukan yang sudah kalian sampaikan.

Berdasarkan pengalaman saya, biasanya setelah saya menunjukkan rujukan-rujukan yang saya gunakan, orang yang hendak mengkritik itu akan memahami maksud saya. Tidak perlu saya katakan (apalagi sampai berkali-kali) "ini hanya fiksi". Mereka akan memahaminya sendiri. Well, pernah suatu ketika ada yang ngeyel, bertanya rujukan yang saya ambil itu link-nya di mana? Saya jawab itu bukan situs internet, melainkan sebuah buku yang mengulas sejarah. Beliau bertanya lagi, sumber buku itu dari mana? Dengan senang hati saya fotokan halaman pertama dan terakhir daftar pustaka yang ada di dalam buku tersebut (karena daftar pustakanya saja terdiri dari belasan halaman). Dengan melihat nomor halaman pertama dan terakhir daftar pustaka buku yang dimaksud, orang yang ngeyel itu akan bungkam sendiri.

Temans~
Ini memang benar-benar random talk, tetapi saya harap kalian mendapatkan sesuatu dari sini. Sebelum saya tutup, mari kita pertegas hal ini: Fiksi Sejarah bukan HANYA fiksi. Kamu mau menulisnya? Rujukanmu dari mana?

Nah, semoga kita semua diberkahi umur panjang, hati yang lapang, dan jiwa yang pemberani.

Untuk Mbak Sensor, maaf, ya, saya jadikan bahan tulisan panjang di sini. Jangan marah~ 😁🙏

Untuk kalian semua, bersemangatlah! 😇

*Haz, 19 Januari 2018


Comments

  1. Bagus isinya mba. Aku jd ngerti apa yg hrs kita perhatikan kalo mau menulis fiksi sejarah. Walaupun jujurnya aku blm berani menulis fiksi sejarah krn ga pengen nulis ini asal2an. Kayak katamu, kalo sampe ditanya referensinya darimana, dan aku ga bisa jawab, maluuu itu :D. Jadi sampe skr, menulis yg berdasar pengalamanku aja lah :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. saya kadang merasa malu kalo nulis berdasarkan pengalaman. takut berlebihan atau nggak sesuai. itulah kenapa fiksi sejarah tampak lebih menjanjikan. :'D

      Delete

Post a Comment