Malam itu seperti malam-malam sebelumnya. Angin mengembus dingin, mendesau-desau menghadirkan gigil. Tak terlalu menggigit untuk bisa mengoyak jaring laba-laba di reranting yang kehilangan daunnya. Namun, cukup anggun untuk melagukan tembang kelam serupa kematian. Kamu berdiri di puncak menara. Matamu muram dibengkalai kehidupan. Kamu pandangi kabut yang bekerlip resah dalam pucat kelindan malam. Kamu sesap setiap rasa setiap aroma perkusi malam. Malam itu seperti malam-malam sebelumnya. Sesorah serigala ramai menghujat purnama. Ah, benar. Setiap malam adalah purnama. Mereka—serigala dan purnama—serupa anak-anak yang tersesat. Berkeliaran menerobos ambang waktu. Atau, justru kamu yang terperangkap? Malam itu seperti malam-malam sebelumnya. Atau, sebelumnya. Atau, sebelum sebelumnya. Atau bahkan, sebelum sebelumnya sebelumnya lagi. Kamu melangkahkan kaki-kaki pucatmu melewati batas tepi. Di puncak menara kamu mengundang sunyi. Dan, dingin malam menyambutmu serupa saltasi. Mere...
tempat bermenung dan berceloteh