Skip to main content

[FLASH FICTION] SELAMAT TINGGAL, TEMANKU SAYANG!


google images 'anime boy smirking'

“Sudah saatnya.”

“Eh?” Aku menoleh saat mendengar Seth bergumam.

Seth mendongak. “Kau tahu? Saat bulan berwarna merah, para setan berpesta.”

“Ah, mitos itu….” Aku ikut mendongak ke arah bulan. Purnama malam ini tidak secemerlang biasanya. Separuh bagian bulan berwarna jingga kemerahan.

“Kau percaya?”

“Kau bercanda?” Aku tergelak. “Itu hanya gerhana bulan,  terjadi karena bumi memiliki atmosf—”

“Ya, ya, Kutu Buku.” Seth memotong.

“Jangan kesal,” ujarku, menoleh menatapnya. “Kau tahu aku jenis orang yang tidak percaya hal-hal tidak ilmiah seperti itu.”

Seth menoleh. Sesaat aku melihat matanya berkilat, sebelum dia kembali mendongak ke arah bulan. Aku terus menatapnya hingga beberapa kali embusan angin yang dingin menggoyangkan dedaunan. Kubetulkan posisiku dan bersandar pada batang pohon. Seth, yang duduk di cabang yang sama denganku, masih tenggelam dalam tatapannya pada bulan. Melihatnya terus diam seperti itu, mau tak mau aku kembali ikut menatap bulan yang kini jingga kemerahannya sudah mencapai dua pertiga bagian.

“Jadi,” kataku tak tahan dengan kesunyian ganjil ini, “apa kata mitos tentang bulan merah?”

Seth diam. Aku menunggu. Hingga, setelah beberapa kali embusan angin yang semakin dingin melintasi malam yang semakin tua, dia bicara.

“Dulu sekali, bulan adalah tempat yang damai. Di sana, hidup bangsa yang abadi. Bukan berarti mereka tak bisa mati, mereka hanya tumbuh dan menua lebih lambat daripada manusia. Lalu, suatu hari, tanah mereka menjadi gelap. Cahaya matahari yang semula cemerlang, menjadi semerah darah. Merasa panik dan takut, mereka menjadi mudah sekali curiga dan marah. Kerusuhan terjadi di mana-mana. Kejahatan pun merajalela.

“Cahaya merah itu juga telah membuat tanaman-tanaman kering meranggas. Bulan kemudian menjadi tempat yang kering. Perampokan, pencurian pun terjadi, hanya untuk mendapatkan makanan. Dan, ketika makanan benar-benar habis, mereka melakukan segala cara untuk bertahan hidup. Termasuk, membunuh dan memakan sesama bangsa mereka sendiri.”

Aku bergidik. Kurasa itu bukan jenis mitos yang bagus. Menarik, memang, tetapi mengerikan. Seth masih melanjutkan kisahnya. Tentang darah di mana-mana, kegilaan, dan semua horor yang terjadi sebagai akibat dari cahaya merah yang jatuh di bulan. Tentang mayat yang semakin menumpuk, bau busuk, dan debu-debu berwarna merah karena terlalu pekat terkena darah.

“Lalu,” Seth melanjutkan, “mereka disadarkan oleh satu hal. Jika terus saling membunuh, pada akhirnya mereka hanya akan punah. Karena itu, mereka pun mencari cara untuk dapat bertahan.”

“Dan,” aku penasaran, “bagaimana cara mereka?”

“Berburu ke tempat lain.” Seth mengangguk seolah membenarkan ucapannya sendiri. “Mereka menemukan fakta bahwa ada ruang yang dapat ‘melompatkan’ mereka ke bumi saat cahaya merah, yakni ruang merah itu sendiri.”

Ruang merah? Aku menangkap itu sebagai umbra, bayangan inti yang berada di bagian tengah dan sangat gelap pada saat terjadi gerhana bulan.

“Dan?”

“Manusia adalah mangsa mereka.”

“Terdengar seperti vampir,” komentarku, sedikit tertawa. Tiba-tiba, suara jeritan dari arah atas yang memekakkan telinga mengagetkanku hingga aku nyaris saja terjatuh. “Apa itu?” tanyaku menatap sekitar, dan berhenti pada bulan yang telah semerah darah. Apakah itu berasal dari…?

“Akhirnya…, setelah ribuan tahun menunggu, musim perburuan tiba.”

Aku menatap Seth.

“Seharusnya kau percaya mitos itu, Luna.” Dia mengedipkan sebelah mata dan menyeringai. Mendadak, aku pun mengerti.


***

Hazuki Auryn
Rabu, 5 Maret 2014
FF Terbaik PEDAS - Penulis dan Sastra

Comments