Skip to main content

[FLASH FICTION] USAI PERJAMUAN



google images: umbrella girl painting

Seth mengusap bibirnya. Tergeletak di hadapannya, seorang gadis memejamkan mata dengan wajah pucat, tetapi tetap terlihat cantik.

“Apa aku pernah berkata bahwa kau sangat cantik, Luna?” tanya pemuda itu kepada si gadis. Dia lalu mendongak. Di langit, rembulan menggantung sepekat darah. Dan, teriakan-teriakan memekakkan terdengar. Si pemuda lalu meraih gadis yang dia panggil Luna itu, membopongnya, membawanya—dengan beberapa lompatan jauh—ke sebuah rumah kecil.

Memasuki rumah itu, Seth merebahkan Luna di ranjang satu-satunya yang ada di sana. Sebuah perapian kecil nyaris mati, Seth meletakkan beberapa batu bara, mengorek, dan meniupnya agar nyala kembali. Lalu, setelah menyelimuti tubuh Luna, pemuda itu duduk di samping si gadis.

“Kuceritakan sebuah kisah,” katanya, mengelus rambut Luna. “Sebuah klan, dengan sesuatu yang berbeda dalam darah mereka. Jika yang lain hanya mendatangkan kematian pada masa perburuan, klan itu justru membawa yang mati kembali.

”Ada seorang pemburu dari klan itu yang jatuh cinta kepada anak manusia. Tapi, manusia adalah makhluk lemah. Hidupnya terlalu singkat. Hanya sebentar, anak itu telah menjadi dewasa. Lalu, tak lama kemudian menua dan mati. Pemburu itu sebenarnya bisa saja ‘membangkitkan’ manusia yang dicintainya itu ketika belia. Tapi, dia terlalu naif untuk melakukannya. Merana karena kematian manusia yang dicintainya, pemburu itu pun mengakhiri hidupnya dengan membakar diri di bawah ekuinoks.

“Dengan payung itu,” Seth menunjuk payung hitam yang tersandar di sudut, “dia berjalan di bawah ekuinoks. Lalu, ketika dirasanya cukup, dia lemparkan payung itu dan membiarkan dirinya terbakar. Bukankah itu menyedihkan? Atau, justru konyol? Seorang pemburu dan anggota klan yang teberkati dengan usia panjang dan darah istimewa..., justru mati karena merana.”

Dengan kukunya yang tajam, Seth menggarit telapak tangannya hingga berdarah. Dia lalu membuka bibir Luna dan meneteskan darahnya. Pemuda itu berkata, “Aku menyayangimu, karena itu aku memanggilmu kembali. Dengan begini, kau tidak akan pernah menua. Dan, kita bisa terus bersama.”

Tidak ada reaksi apa pun. Gadis itu tetap pucat, tetap diam, tetap terpejam. Dan, suara-suara memekakkan tetap terdengar dari luar. Juga, teriakan-teriakan. Dan..., ketika angin mengembus, aroma besi menguar tajam.

Setelah beberapa saat berlalu, Seth merasakan reaksi. Gadis itu, entah sadar atau tidak, mulai mengisap darah dari telapak tangan Seth. Kedua matanya masih terpejam, tetapi isapannya semakin kuat. Hingga kemudian Seth mengerang saat isapannya bertambah kuat. Dan, begitu Seth menarik tangan, kedua mata gadis itu terbuka lebar.

“Selamat datang kembali,” sambut Seth. Akan tetapi, gadis itu seolah tidak mendengar. Dia menyerang Seth tiba-tiba. Dengan kekuatan yang entah dari mana, dia menarik kerah Seth dan melempar pemuda itu hingga membentur dinding sudut.

Mendekatinya, Luna terlihat seperti seseorang yang sama sekali baru. Dia meraih payung di sebelah Seth dan menusukkan ujungnya ke mata pemuda itu. Darah pekat memuncrat saat benda runcing di ujung payung meretakkan dan menerobos batok kepala Seth.

“Mungkin,” Luna menarik kembali payung dari kepala Seth, “pemburu itu tahu risiko membangkitkan kembali yang seharusnya telah mati.” Dia berbalik, dan dengan tenang melangkah keluar.

Dibukanya payung kirmizi di genggamannya. Darah menetes-netes dan memuncrat dari langit dan gadis itu melangkah tenang dalam lindungan payung. Dia bukan ‘Luna’, dia tahu itu. Akan tetapi, dia senang berada di dalam tubuh itu.


***

Hazuki Auryn
Arjowilangun, 26032014
FF Terbaik PEDAS - Penulis dan Sastra

Comments