![]() | |
google image |
Kalian pasti sudah tahu diksi, kan? Secara singkat, diksi adalah pilihan kata. Menurut KBBI, diksi adalah pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan). Diksi adalah kata serapan dari bahasa Inggris, diction yang artinya pemilihan dan penggunaan kata-kata dalam pidato atau tulisan (Oxford English Dictionary). Kata diction sendiri merupakan turunan dari bahasa Latin dicere yang artinya 'to say' alias berkata.
Sesuai dengan penjelasan Wikipedia, salah satu fungsi diksi adalah agar orang yang membaca atau mendengar karya sastra menjadi lebih paham mengenai apa yang ingin disampaikan pengarang. Karena itu, diksi ini penting karena seperti pedang bermata dua. Artinya, salah memilih diksi justru bisa berdampak buruk terhadap tulisan.
Diksi juga penting untuk menentukan panjang-pendek suatu kalimat. Selain itu, diksi juga berperan dalam membangun nuansa cerita. Misalnya, cerita yang memakai ragam bahasa percakapan akan menunjukkan nuansa cerita tersebut. Sama halnya dengan pilihan kata yang cenderung muram untuk cerita horor atau thriller, diksi ‘berbunga’ untuk cerita percintaan, atau celetukan-celetukan konyol untuk cerita komedi. Nah, untuk memperkaya diksi, kita juga harus memiliki kosakata yang mendukung. Caranya yaitu dengan banyak membaca.
Baiklah, cukup basa-basinya. 😁 Sekarang kita memasuki pembahasan utama. Beda Cerita Beda Diksi.
Seperti telah disebutkan di atas, diksi itu seperti pedang bermata dua. Salah pilih diksi bukannya membuat tulisan jadi bagus, sebaliknya bisa memperburuknya. Karena itu, memilih diksi kita harus berhati-hati.
Pada genre lain, cerita detektif tentang pembunuhan yang terjadi di sebuah rumah sakit, misalnya. Tentu kita akan menemukan banyak istilah kedokteran atau benda-benda yang berkaitan dengan rumah sakit di sini. Itulah sebabnya sebelum memilih kata-kata, hal pertama yang harus kita perhatikan adalah genre.
Perhatikan dua paragraf di bawah ini:
Paragraf A: Jangan bilang lo anak jalanan kalau lo enggak kenal gue! Iyalah, semua orang di sini tahu siapa gue. Pedagang kaki lima sampai kaki tujuh yang biasa mangkal di sepanjang trotoar, pengemis-pengemis baik yang stand by di perempatan bangjo atau yang door to door, preman-preman, semua tahu siapa gue.
Paragraf B: Bukannya aku suka berkutat dengan padi dan lumpur, tetapi aku suka memandangi padi yang masih menghijau itu. Rasanya seperti berada di negeri lain yang memisahkanku dengan dunia yang serba sibuk dan ruwet. Apalagi, jika aku mendongak, langit yang membiru sempurna seolah membiusku menuju duniaku sendiri yang tenang dan damai. Dan, ketika kurasakan angin mengembus, aku akan merasa seperti terbang. Membayangkan seperti itu, aku suka dengan kesendirianku.
Kedua paragraf di atas sama-sama POV 1 dan juga ditulis oleh orang yang sama (saya, 😅😅😅), tetapi dapat dirasakan perbedaan karakternya, kan? Itulah yang saya maksud dengan karakter tokoh yang memengaruhi diksi. Itu juga bukti konkret Beda Cerita Beda Diksi.
Hal yang sama berlaku dalam dialog antartokoh, seperti dalam percakapan ini:
"Kamu... apa kabar?" tanya A.
B mendengus. "Ngapain lo nanyain kabar gue?"
"Aku...."
"Nggak penting banget!"
Atau ini:
Sesuai dengan penjelasan Wikipedia, salah satu fungsi diksi adalah agar orang yang membaca atau mendengar karya sastra menjadi lebih paham mengenai apa yang ingin disampaikan pengarang. Karena itu, diksi ini penting karena seperti pedang bermata dua. Artinya, salah memilih diksi justru bisa berdampak buruk terhadap tulisan.
Diksi juga penting untuk menentukan panjang-pendek suatu kalimat. Selain itu, diksi juga berperan dalam membangun nuansa cerita. Misalnya, cerita yang memakai ragam bahasa percakapan akan menunjukkan nuansa cerita tersebut. Sama halnya dengan pilihan kata yang cenderung muram untuk cerita horor atau thriller, diksi ‘berbunga’ untuk cerita percintaan, atau celetukan-celetukan konyol untuk cerita komedi. Nah, untuk memperkaya diksi, kita juga harus memiliki kosakata yang mendukung. Caranya yaitu dengan banyak membaca.
Baiklah, cukup basa-basinya. 😁 Sekarang kita memasuki pembahasan utama. Beda Cerita Beda Diksi.
Seperti telah disebutkan di atas, diksi itu seperti pedang bermata dua. Salah pilih diksi bukannya membuat tulisan jadi bagus, sebaliknya bisa memperburuknya. Karena itu, memilih diksi kita harus berhati-hati.
Pertama, perhatikan genre tulisan yang ingin atau sedang kita buat.
Untuk cerita bergenre high fantasy yang berkiblat pada tanah-tanah di Eropa, misalnya, akan lucu kalau tiba-tiba ada kata-kata yang berakar dari bahasa Jawa (kecuali diceritakan bahwa yang berbicara itu adalah tokoh yang berasal dari wilayah Asia-Indonesia). Sebaliknya, saat kita menulis cerita bergenre fiksi historis yang berpusat pada Kerajaan Majapahit, misalnya, adalah wajar jika kita memakai diksi yang berakar dari bahasa Jawa/Kawi/Sansekerta.Pada genre lain, cerita detektif tentang pembunuhan yang terjadi di sebuah rumah sakit, misalnya. Tentu kita akan menemukan banyak istilah kedokteran atau benda-benda yang berkaitan dengan rumah sakit di sini. Itulah sebabnya sebelum memilih kata-kata, hal pertama yang harus kita perhatikan adalah genre.
Kedua, memperhatikan karakter tokoh.
Karakter tokoh juga memengaruhi diksi yang disampaikan/diucapkan oleh tokoh itu, baik sebagai pelaku dalam POV 1, dalam dialog, atau pun melalui penjelasan tokoh lain.Perhatikan dua paragraf di bawah ini:
Paragraf A: Jangan bilang lo anak jalanan kalau lo enggak kenal gue! Iyalah, semua orang di sini tahu siapa gue. Pedagang kaki lima sampai kaki tujuh yang biasa mangkal di sepanjang trotoar, pengemis-pengemis baik yang stand by di perempatan bangjo atau yang door to door, preman-preman, semua tahu siapa gue.
Paragraf B: Bukannya aku suka berkutat dengan padi dan lumpur, tetapi aku suka memandangi padi yang masih menghijau itu. Rasanya seperti berada di negeri lain yang memisahkanku dengan dunia yang serba sibuk dan ruwet. Apalagi, jika aku mendongak, langit yang membiru sempurna seolah membiusku menuju duniaku sendiri yang tenang dan damai. Dan, ketika kurasakan angin mengembus, aku akan merasa seperti terbang. Membayangkan seperti itu, aku suka dengan kesendirianku.
Kedua paragraf di atas sama-sama POV 1 dan juga ditulis oleh orang yang sama (saya, 😅😅😅), tetapi dapat dirasakan perbedaan karakternya, kan? Itulah yang saya maksud dengan karakter tokoh yang memengaruhi diksi. Itu juga bukti konkret Beda Cerita Beda Diksi.
Hal yang sama berlaku dalam dialog antartokoh, seperti dalam percakapan ini:
"Kamu... apa kabar?" tanya A.
B mendengus. "Ngapain lo nanyain kabar gue?"
"Aku...."
"Nggak penting banget!"
Atau ini:
"Oalah, Le..., kamu itu mbok ya nyebut. Wong muka kamu sebelas-dua belas sama pantat panci, baju kamu juga setara keset, kok bisa-bisanya kamu naksir sama si Ratna yang anak gedongan itu."
Diksi yang muncul dalam dialog bisa merepresentasikan tokoh itu sendiri. Kan, nggak lucu kalau ceritanya si Udin ini orang kampung yang udik banget, gaptek, dan nggak ngerti tren-tren terkini, ujug-ujug dia berbicara dengan istilah-istilah asing. Kecuali, dalam ceritanya ada yang mengarahkan plot ke situ. Dari sini sudah jelas, ya, arti dari Beda Diksi Beda Cerita itu. 😊
Last but not least, jangan melupakan gaya penulisan.
Setiap orang memiliki gaya penulisan masing-masing. Sekalipun cerita yang ditulisnya berbeda, sekalipun diksi yang dipakainya juga berbeda, kita akan tetap menemukan kekhasan itu dalam tulisan-tulisan mereka. Coba saja baca beberapa judul buku dengan genre berbeda yang ditulis oleh satu orang, pasti tidak sulit menemukan kekhasannya dalam menulis cerita. Begitu pun dengan kita. Jadi, jangan sampai terpengaruh oleh (baca: mengikuti) gaya penulisan orang lain. Percayalah, kita unik dengan cara kita sendiri. 😊Oke, cukup di sini pembahasan kita mengenai diksi. Beda Cerita Beda Diksi, tapi bukan berarti kita harus menulis dengan gaya yang berbeda (gaya orang lain). Ingat-ingat ini, ya. Salam~ 😇
*Haz, 31 Desember 2017
Comments
Post a Comment