![]() |
source; wikipedia images |
Membuka-buka folder
lama, tanpa sengaja menemukan ini, bertitimangsa Januari 2015. Heran saja, kok
bisa-bisanya saya nulis sesuatu semacam opini(?) gini. Maksud saya, ya ampun…!
Malu, ya. Tapi, karena ini sudah ditulis, rasa-rasanya kok sayang, ya, kalau cuma
dibiarin debuan di Pese. Jadi… yuk, baca. Tapi, saya nggak tanggung, ya, kalau
setelahnya kalian jadi mual-mual. Anggap saja saya lagi belajar masak, dan ini
eksperimen pertama saya. Dan, kalian ‘kebetulan’ jadi korban yang nyicipin. 😁😁😁
Pendidikan Kepribadian Bangsa dalam Alunan Tambang Jawa
Gending Jawa, siapa
yang tak kenal musik jenis ini? Pada siang hari yang terik, misalnya, cocok
sekali mendengarkan tembang Jawa sambil ‘leyeh-leyeh’
merasakan embusan angin yang menenangkan dan alunan musik yang melenakan.
Apa? Tidak cocok untuk
anak muda? Tidak juga, ah. Saya, misalnya, kelahiran 90-an, dan tetap menyukai
jenis musik ini.
“Jangan-jangan kamu
lahir salah zaman?!”
Begitu seringnya
komentar yang saya dengar. Menyukai dangdut (dangdut ‘asli’, lho, macam
lagu-langunya Mbah Rhoma Irama), menyukai gending-gending Jawa, dan bercita-cita
bisa menembang ala-ala sinden (meski saya sadar betul kualitas suara saya sama
sekali nggak bisa menjamin
tercapainya cita-cita itu). Yah, sepertinya saya memang salah zaman.
“Lagu apaan, sih, itu?
Nggak jelas banget, deh. Bikin
ngantuk!”
“SuJu, dong. Atau
SHINee. Big bang. 2 PM.”
“One Direction!”
“Demy Lovato. Taylor
Swift. Katy Perry. David Guetta ft Sia.”
“Frozen! Frozen lagi
terkenal sekarang!”
Benar. Lalu apa? Saya
punya satu folder Alexander Rybak (saya yakin jarang banget dari kalian yang
tahu penyanyi cowok ganteng yang jago biola ini). Atau Within Temptation. Atau
Linkin Park. Saosin. The Red Jumpsuit Apparatus—tunggu, jangan-jangan lagu
Barat yang saya sukai pun ‘salah zaman’?
Intinya, saya juga
suka lagu-lagu berbahasa asing. ‘Hana’
dari Orange Range, misalnya, salah satu lagu berbahasa Jepang kesukaan saya.
Tapi, lalu apa?
Apakah hanya karena ‘playlist’ kita penuh dengan lagu-lagu
berbahasa asing lalu kita jadi keren? Atau, karena ‘playlist’ kita penuh
dengan lagu-lagu Rhoma dan lagu-lagu Jawa jadi membuat kita ‘ndhesit’,
kampungan?
Saya kira, tidak
demikian. Dan, seperti judul di atas, akan saya tunjukkan satu lagu berbahasa
Jawa yang sarat pesan pendidikan kepribadian bangsa: ‘Ojo Dipleroki’.
Pertama kali saya
mendengar lagu ‘Ojo Dipleroki’ adalah
ketika saya masih SD.
Dulu, ada iklan dengan
‘jingle’ begini, “Anak berbakat,
selalu ingin tahu, selalu ingin maju, dan pasti rajin belajar…!”
Saya tak ingat iklan
apa itu. Tapi, saya masih ingat dengan jelas ‘jingle’-nya hingga sekarang. ‘Jingle’
itu terpatri kuat dalam benak saya, dan karenanya saya selalu senang mencari
tahu. Contohnya, ketika mendengar lagu ‘Ojo
Dipleroki’ itu.
Saya bertanya pada
ibu, pada bapak, pada nenek, kakek, adik nenek…, pada siapa pun, mengenai
maksud lagu itu. Tapi, ya, itu, karena saya masih kecil saat itu, informasi
yang saya dapat pun seperti langsung tenggelam begitu saja, teralihkan oleh
permainan-permainan lain seperti gobak sodor dan betengan yang cukup populer
ketika itu.
Meski demikian, saya
tetap menyukai lagu ‘Ojo Dipleroki’.
Sebab, sedikit banyak saya cukup menangkap maknanya. Ini dikarenakan sewaktu
kecil saya juga diajari ‘singiran’
(sebenarnya, syi’ir) yang isinya tentang
adab dan perilaku. Yah, kurang lebih sama dengan maksud lagu ‘Ojo Dipleroki’ yang dinyanyikan
berpasangan.
“Mas, Mas, Mas, ojo dipleroki. Mas, Mas, Mas,
ojo dipoyoki. Karepku njaluk diesemi.”
Pada lirik awal itu,
si wanita meminta si laki-laki untuk tidak meliriknya dengan pandangan tak
suka. Apalagi, menyindirnya atau mengolok-oloknya. Si wanita ingin diberi
senyuman.
Si laki-laki pun
menjawab, “Tingkah lakumu kudu ngerti
cara, ojo ditinggal kapribadhen katimuran.”
Maksudnya, agar si
wanita menjaga tingkah lakunya, menjaga adab dan sopan santun, serta tak
meninggalkan budaya Bangsa Timur. Budaya bangsa Indonesia secara umum.
Si wanita, yang merasa
khawatir dibilang kolot, tidak modern, kuno, ketinggalan zaman, menjawab, “Mengko gek keri ing zaman….”
“Mbok ya sing eling, Dhik.” Si laki-laki mengingatkan agar si wanita mawas
diri.
“Eling bab apa, Mas?” tanya si wanita.
“Iku budaya.”
Ya, itu budaya. Sopan
santun, tata cara, adab perilaku, kehalusan dan kebaikan budi pekerti…, itu
adalah budaya bangsa. Kita boleh mengikuti arus modernisasi. Tapi, jangan
sekali-sekali meninggalkan budaya bangsa. Ini, adalah sifat hakiki yang
tecermin pada sikap Bangsa Timur, yang membedakannya dari bangsa lain. Ini,
adalah kepribadian bangsa.
Begitu sederhana
liriknya. Begitu dalam maknanya.
Memang demikianlah
semestinya kita berperilaku. Jangan karena takut dibilang ketinggalan zaman,
lalu kita jadi melupakan adab sopan santun. Ingatlah, bangsa Indonesia bukanlah
bangsa barbar. Kita adalah bangsa dengan kepribadian luhur. Dan, kita memiliki
tanggung jawab untuk melestarikan dan meneruskan warisan budi pekerti ini.
Di akhir lirik, si
wanita menyetujui ucapan si laki-laki dengan berkata, “Pancene bener kandhamu.”
Bagaimana dengan kita?
Bagaimana dengan Anda? []
*Meg, 18 Januari 2015
Simak video berikut untuk lagu Ojo Dipleroki:
Simak video berikut untuk lagu Ojo Dipleroki:
Comments
Post a Comment