 |
source: google image 'fiction' |
Menurut
Wikipedia,
Fiksi adalah sebuah prosa naratif yang bersifat imajiner. Meskipun imajiner, sebuah karya fiksi tetaplah masuk akal dan mengandung
kebenaran yang dapat mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia. Jadi, dalam menulis fiksi, alur dan kelogisan cerita sangat diperlukan.
Stop memakai tameng, "Ini, kan, fiksi! Penulis bebas berimajinasi!" atau, "Kalau semua fiksi harus logis, bagaimana dengan genre surealisme? Banyak penulis besar di sini dan semua ceritanya tidak logis!"
Teman, yang dimaksud "logis" di sini bukan berarti harus sesuai sepenuhnya dengan dunia nyata. Akan tetapi, cerita yang kita bangun itu harus
makes sense. Cerita ditulis berdasarkan sebab-akibat. Kenapa begini karena terjadi begitu.
Fiksi surealisme pun memiliki kebenaran 'dalam cerita itu sendiri' yang dapat membangun nuansa surealismenya dan mendramatisasikannya ke dalam bentuk fiksi surealisme itu sendiri. Cerita tentang seseorang yang terus menunggu kekasihnya hingga menjadi patung, misalnya, tetap 'mengandung kebenaran' dan 'masuk akal' dalam 'dunia fiksinya'. Inilah yang dimaksud kelogisan cerita.
Menulis Fiksi terutama sekali diawali dari sebuah ide. Dan, untuk menuangkan ide ke dalam sebuah tulisan, sebaiknya memahami terlebih
dahulu
tahapan-tahapan menulis, antara lain: 1) pramenulis, 2) menulis draf, 3)
merevisi, 4) menyunting, 5) publikasi.
Tahapan-Tahapan Menulis Fiksi:
Kegiatan ini dilakukan sebelum mulai menulis. Biasanya, dengan melakukan
mind mapping.
Menentukan tema, mengolah ide di dalam kepala sampai itu siap untuk ditulis.
Bisa juga dengan menuliskan plot/alur cerita dengan poin-poin. Dan, bila perlu,
observasi atau riset untuk memperkaya dan mempertegas ide yang sudah dibangun.
Tahapan ini berupa kegiatan menulis,
tetapi
bentuk tulisan biasanya masih kasar dan bersifat sementara, atau masih bisa
diubah. Pada tahap ini, kita tidak perlu mengkhawatirkan tipografi tulisan
(hal-hal teknis seperti EBI,
penggunaan tanda
baca, typo/salah tulis, dll.). Meskipun, ya, bagus juga untuk memperhatikan setidaknya penggunaan tanda baca di sini. Intinya adalah,
keep writing no matter what. Teruslah menulis. Kita bisa kembali lagi untuk mengecek nanti.
Kegiatan memperbaiki, menambahkan ide baru ke dalam karangan yang telah kita
tulis, atau mengurangi bagian yang dirasa tak sesuai atau tak diperlukan dalam
tulisan. Untuk dapat melakukan revisi dengan baik, kita harus tekun dan teliti
membaca kembali seluruh draf yang telah kita buat. Kita juga bisa meminta bantuan teman untuk memberikan
tanggapan terhadap tulisan kita. Jangan malu atau takut tulisan kita akan
mendapat kritikan, karena justru ini kita perlukan untuk membuat tulisan kita
menjadi lebih baik. Asal, kita juga pandai memilah mana kritik dan saran yang
membangun, dan mana yang bersifat menjatuhkan.
Menyunting tulisan merupakan kegiatan memperbaiki aspek tata tulis atau
kebahasaan serta kesalahan-kesalahan teknis. Untuk tahap ini, diperlukan
kemampuan menyunting/editing. Karena itu, penulis yang baik adalah penulis yang
tak hanya tahu cara menulis,
tetapi juga
memahami Ejaan Bahasa Indonesia dan dapat melakukan perbaikan terhadap tata
penulisannya sendiri. Percayalah, editor pun akan geleng-geleng dan menyisihkan
tulisan yang penuh
typo, kesilapan EBI, dan secara umum "tidak rapi".
Salah satu kebahagiaan penulis adalah apabila tulisannya dibaca orang lain.
Jadi, jangan takut atau malu untuk memublikasikan karya. Entah itu di Mading
Sekolah, majalah sekolah, di media
online seperti fesbuk, blog, atau bahkan di
buku terbit. Percayalah, setiap tulisan yang bagus pasti memiliki manfaat bagi
orang yang membacanya. Berbesar hati dengan segala umpan balik dari para
pembaca, ini juga salah satu cara untuk terus menajamkan pena kita.
Jadi, tunggu apa lagi? Menulislah! 😇
*Mega (or perhaps you consider me as Hazuki Auryn)
Tulisan ini pernah saya posting di fesbuk pada 23 Desember 2016,
repost 1 April 2017, dan sekarang
post di blog ini, 27 Desember 2017 dengan
minor editing.
Comments
Post a Comment