Skip to main content

[WRITING] MENYIASATI PENULISAN SETTING PADA FLASH FICTION



pinterest

Halo~

Sebagaimana kita bahas di post sebelumnya, Flash Fiction adalah cerita fiksi yang sangat singkat, dengan jumlah kata umumnya 200-500 kata. (Baca: Yuk, Ngomongin Flash Fiction!)

Dengan batasan jumlah kata itu, tentu akan sulit jika kita tidak bisa menyiasati agar cerita yang kita tulis bisa ringkas tanpa ada bagian-bagian yang hilang. Salah satu yang paling sulit adalah penggambaran setting (baik lokasi, waktu, atau pun suasana). Bayangkan saja jika dengan kuota kata yang sangat terbatas itu kita sampai menghabiskan 100 kata lebih hanya untuk menjelaskan setting. Ugh, pasti bakal kekurangan tempat untuk ceritanya sendiri.

Untuk itu, kali ini kita akan membahas cara menyiasati penulisan setting pada Flash Fiction sehingga tidak melebihi batasan jumlah kata.

Oh, ya, ini adalah cara versi saya, ya. Jadi, jika kalian merasa cara ini nggak sesuai dengan cara kalian, kalian boleh tidak mengikutinya. Saya hanya share berdasarkan pengalaman saya (yang sebenarnya cuma seuprit ini). 😊

Hal terpenting dalam menggambarkan setting adalah kemampuan penulis terhadap teknik “Show don’t Tell” (baca penjelasannya di sini). Jika kita sudah memahami hal itu, menyiasati penulisan setting pada Flash Fiction akan lebih mudah.

Selanjutnya, adalah diksi.

Diksi atau pilihan kata juga penting untuk menentukan panjang-pendek suatu kalimat. Diksi juga berperan dalam membangun nuansa cerita. Misalnya, cerita yang memakai ragam bahasa percakapan akan menunjukkan nuansa cerita tersebut. Sama halnya dengan pilihan kata yang cenderung muram untuk cerita horor atau thriller, diksi ‘berbunga’ untuk cerita percintaan, atau celetukan-celetukan konyol untuk cerita komedi. Nah, untuk memperkaya diksi, kita juga harus memiliki kosakata yang mendukung. Caranya yaitu dengan banyak membaca. (Baca: Beda Cerita Beda Diksi)

Setelah kita memiliki dua hal di atas sebagai bekal, selanjutnya tinggal mengolah tulisan. Untuk itu, akan saya berikan contoh langsung, ya. 😊

Selamat Tinggal, Temanku Sayang!


“Sudah saatnya.”

“Eh?” Aku menoleh saat mendengar Seth bergumam.

Seth mendongak. “Kau tahu? Saat bulan berwarna merah, para setan berpesta.”

“Ah, mitos itu ….” Aku ikut mendongak ke arah bulan. Purnama malam ini tidak secemerlang biasanya. Separuh bagian bulan berwarna jingga kemerahan.

“Kau percaya?”

“Kau bercanda?” Aku tergelak. “Itu hanya gerhana bulan,  terjadi karena bumi memiliki atmosf—”

“Ya, ya, Kutu Buku.” Seth memotongku.

“Jangan kesal,” ujarku, menoleh menatapnya. “Kau tahu aku jenis orang yang tidak percaya hal-hal tidak ilmiah seperti itu.”

Seth menoleh. Sesaat aku melihat matanya berkilat, sebelum dia kembali mendongak ke arah bulan. Aku terus menatapnya hingga beberapa kali embusan angin yang dingin menggoyangkan dedaunan. Kubetulkan posisiku dan bersandar pada batang pohon. Seth, yang duduk di cabang yang sama denganku, masih tenggelam dalam tatapannya pada bulan. Melihatnya terus diam seperti itu, mau tak mau aku kembali ikut menatap bulan, yang kini jingga kemerahannya sudah mencapai dua pertiga bagian.

“Jadi,” kataku tak tahan dengan kesunyian ganjil ini, “apa kata mitos tentang bulan merah?”

Seth diam. Aku menunggu. Hingga, setelah beberapa kali embusan angin yang semakin dingin melintasi malam yang semakin tua, dia bicara.

“Dulu sekali, bulan adalah tempat yang damai. Di sana, hidup bangsa yang abadi. Bukan berarti mereka tak bisa mati, mereka hanya tumbuh dan menua lebih lambat daripada manusia. Lalu, suatu hari, tanah mereka menjadi gelap. Cahaya matahari yang semula cemerlang, menjadi semerah darah. Merasa panik dan takut, mereka menjadi mudah sekali curiga dan marah. Kerusuhan terjadi di mana-mana. Kejahatan pun merajalela.

“Cahaya merah itu juga telah membuat tanaman-tanaman kering meranggas. Bulan kemudian menjadi tempat yang kering. Perampokan, pencurian pun terjadi, hanya untuk mendapatkan makanan. Dan, ketika makanan benar-benar habis, mereka melakukan segala cara untuk bertahan hidup. Termasuk, membunuh dan memakan sesama bangsa mereka sendiri.”

Aku bergidik. Kurasa itu bukan jenis mitos yang bagus. Menarik, memang, tapi mengerikan. Seth masih melanjutkan kisahnya. Tentang darah di mana-mana, kegilaan, dan semua horor yang terjadi sebagai akibat dari cahaya merah yang jatuh di bulan. Tentang mayat yang semakin menumpuk, bau busuk, dan debu-debu berwarna merah karena terlalu pekat terkena darah.

“Lalu,” Seth melanjutkan, “mereka disadarkan oleh satu hal. Jika terus saling membunuh, pada akhirnya mereka hanya akan punah. Karena itu, mereka pun mencari cara untuk dapat bertahan.”

“Dan,” tanyaku penasaran, “bagaimana cara mereka?”

“Berburu ke tempat lain.” Seth mengangguk seolah membenarkan ucapannya sendiri. “Mereka menemukan fakta bahwa ada ruang yang dapat ‘melompatkan’ mereka ke bumi saat cahaya merah, yakni ruang merah itu sendiri.”

Ruang merah? Aku menangkap itu sebagai umbra, bayangan inti yang berada di bagian tengah dan sangat gelap pada saat terjadi gerhana bulan.

“Dan?”

“Manusia adalah mangsa mereka.”

“Terdengar seperti vampir,” komentarku, sedikit tertawa. Tiba-tiba, suara jeritan dari arah atas yang memekakkan telinga mengagetkanku hingga aku nyaris saja terjatuh. “Apa itu?” tanyaku menatap sekitar, dan berhenti pada bulan yang telah semerah darah. Apakah itu berasal…?

“Akhirnya…, setelah ribuan tahun menunggu, musim perburuan tiba.”

Aku menatap Seth.

“Seharusnya kau percaya mitos itu, Luna.” Dia mengedipkan sebelah mata dan menyeringai. Mendadak, aku pun mengerti.

***

Penjelasan:

Si 'aku' menoleh ke arah lawan bicaranya, artinya mereka berdampingan.
Malam purnama dengan bulan jingga kemerahan. Makna kalimat ini sudah jelas, ya
Suasana malam yang dingin dan mencekam ditunjukkan dengan embusan angin yang dingin dan  purnama merah.
Si 'aku' bersandar pada batang pohon, lawan bicaranya duduk di cabang pohon yang sama. Artinya, mereka berdua ngobrol sambil duduk di cabang sebuah pohon.
Malam semakin tua mengindikasikan malam yang semakin larut (menuju tengah malam).

Dari situ kita bisa menyimpulkan setting-nya:

Waktu: Malam hari saat bulan purnama.
Lokasi: Cabang sebuah pohon.
Suasana: Dingin dan mencekam dengan bulan berwarna merah.

Kalimat terakhir:

“Seharusnya kau percaya mitos itu, Luna.” Dia mengedipkan sebelah mata dan menyeringai. Mendadak, aku pun mengerti.
Itu adalah salah satu alternatif ending berupa open ending. Lain kali kita bahas macam-macam ending cerita, ya! 😊 (Atau, kalian juga bisa baca: Cara Mudah dan Efektif Menulis Twist Ending)

Sekian dulu bahasan kita tentang cara menyiasati penulisan setting pada Flash Fiction. Sebenarnya, cara ini juga bisa diterapkan untuk cerita-cerita yang lebih panjang seperti cerpen dan novel. Cara seperti ini juga dapat membantu mengurangi adanya info dump.

Keep on writing! 😊


***
Haz, 31 Desember 2017

Comments

  1. dapat ilmu lagi
    semakin banyak membaca semakin banyak kosakata yang kita tabung
    dan penulisan semakin indah untuk dibaca

    ReplyDelete
    Replies
    1. yep yep, kalau membaca saja malas, kita nggak akan bisa berkembang.

      makasih udah mampir, ^^

      Delete
  2. Udh lama nyari maksud dari "show Don't Tell". Terimakasih kak. Membantu banget.

    ReplyDelete

Post a Comment