Skip to main content

[WRITING] CONTOH RESENSI: REKONSTRUKSI PENDIDIKAN NASIONAL MENURUT NGAINUN NAIM




Salam~

Sebelum menuju ke resensi, saya jelaskan dulu bahwa ini adalah resensi  lawas yang saya tulis ketika masih mahasiswa baru (tahun 2009). Ditulis dalam rangka mengikuti lomba menulis resensi se-maba di universitas tempat saya menimba ilmu. Dan... alhamdulillah, resensi ini terpilih sebagai juara pertama. Hadiahnya lumayan, paket buku berisi 6 (atau 7?) eksemplar buku berbagai judul. Karena itulah, meski lawas saya kira ini cukup layak dijadikan contoh resensi. 😁


Baiklah... mari kita mulai membaca resensinya! 🙏

Rekonstruksi Pendidikan Nasional Menurut Ngainun Naim





Judul Buku: REKONSTRUKSI PENDIDIKAN NASIONAL - Membangun Paradigma yang Mencerahkan
Pengarang: Ngainun Naim
Penerbit: Penerbit TERAS
Cetakan: I; April 2009
Tebal Buku: xii+290 halaman
Harga Buku: Rp 27.500,00

==========

Agaknya, kita tidak akan bisa membantah pendapat yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan syarat utama dalam peradaban umat manusia. Dunia tak pernah berhenti bergerak, dan setiap gerakan pasti menimbulkan perubahan meski sekecil apa pun itu. Tapi, bagaimana dengan pendidikan di Indonesia?

Ngainun Naim, penulis yang lahir di kota kecil Tulungagung, Jawa Timur, dan mulai aktif menulis sejak tulisannya yang pertama dimuat dalam majalah berbahasa Jawa, Jayabaya, pada tahun 1996 ini, dalam bukunya yang berjudul Rekonstruksi Pendidikan Nasional: Membangun Paradigma yang Mencerahkan bermaksud menunjukkan pentingnya pendidikan khususnya bagi putra-putri bangsa Indonesia. Dengan mengutip teori-teori besar, buku ini menjadi sarat akan makna pendidikan, juga segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan.

Pada setiap awal sub-bab, Ngainun Naim selalu menukil pendapat-pendapat besar yang dijadikan bahan bahasan. Seperti misalnya yang tertera pada BAB II sub-bab A. "Sistem Parsial, Orang-orang besar tidak dilahirkan. Mereka ditempa, diukir, dan dipersiapkan oleh pendidikan yang baik" (Mohammad Fauzil Adhim), diikuti dengan pendapatnya yang mengatakan, "Harus jujur diakui bahwa ada begitu banyak lulusan pendidikan nasional yang menempati berbagai posisi pada hampir semua level kehidupan masyarakat, mulai dari level terendah hingga level tinggi, bahkan tertinggi. Mereka adalah insan-insan yang telah dididik dan memperoleh bekal wawasan, pengetahuan, keterampilan, nilai, dan kesadaran oleh lembaga pendidikan dalam negeri." (hlm. 23)

Memang, sebagian orang bisa menjadi besar karena pendidikan. Tapi, di samping itu, ada juga orang-orang terdidik yang perilakunya sama sekali tidak mencerminkan kalau mereka pernah mengenyam pendidikan. Seperti yang dikutip Ngainun Naim dari berita yang dimuat di Jawa Pos edisi 24 Oktober 2008 tentang pertikaian antarguru (hlm. 29). Hal ini, menurut Ngainun Naim, adalah contoh konkret bahwa pendidikan di Indonesia masih sangat kurang. Dengan pertanyaan sederhana, Ngainun Naim menuntut pembaca untuk berpikir, apakah pantas seorang guru melakukan hal itu? Kalau guru saja melakukannya, lalu bagaimana dengan muridnya?

Dengan bahasanya yang sederhana tetapi penuh makna, Ngainun Naim menuliskan, "Posisi kesejahteraan guru yang sedemikian mengenaskan sebenarnya telah menjadi keprihatinan bersama. Posisi guru yang semacam ini menjadikan guru tidak ubahnya buruh (hlm.31)." Namun, menurut Ngainun Naim, bobroknya pendidikan di Indonesia bukan hanya karena faktor guru yang tidak mendidik, tapi juga faktor-faktor lain yang tidak kalah penting. Di antara faktor-faktor itu, salah satunya, sikap para pelajar sendiri yang tidak menganggap penting pendidikan.

Dalam menuliskan pendapatnya, Ngainun Naim yang dalam bukunya ini banyak membicarakan nalar dan logika, agaknya tak melupakan satu hal penting, yaitu keagamaan. Hal ini tampak misalnya dalam, "Orang yang takwa akan menjadikan ketakwaannya sebagai perisai dalam menghadapi segenap tantangan dan godaan hidup (hlm. 72)."

Ada lagi misalnya, "Ketakwaan tidak datang dengan sendirinya. Ketakwaan membutuhkan proses pembelajaran (hlm.74)."

Ngainun Naim coba mengatakan bahwa nalar juga harus ditopang dengan ketakwaan. Dalam buku setebal 290 halaman dengan pembahasan tentang pendidikan sebanyak 282 halaman ini, Ngainun Naim juga menunjukkan cara-cara yang bisa dan harus dilakukan guru dalam menangani anak didiknya. Seperti beberapa urutan langkah yang dikutip oleh Ngainun Naim dari Muijs dan Reynolds untuk menangani perilaku buruk siswa (hlm. 77).

Lebih dari itu, pada BAB III Ngainun Naim mengetengahkan tentang langkah-langkah pencerahan. Diawali dengan pembahasan tentang kekecewaan studi yang dilengkapi cuplikan karya sastra dan juga cara mengatasinya, lalu dilanjutkan dengan pembangunan mentalitas climbers (pendaki) yang oleh Ngainun Naim dituliskan dengan, "Pendidikan yang mencerahkan, melandaskan diri pada kesadaran terhadap arti penting membangun siswa yang memiliki mentalitas yang kokoh .... Mereka akan menjadi manusia yang gigih dan penuh perjuangan dalam mengejar impian." (hlm.131)

Dalam membangun mentalitas pantang menyarah ini, guru dan orang tua secara notabene harus menjadi teladan, dan bukannya hambatan.

Selanjutnya, Ngainun Naim mengemukakan tentang pengertian konsep diri dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Dalam bab yang terdiri dari 9 (sembilan) sub-bab ini, Ngainun Naim banyak mengutip karya-karya sastra, juga kisah-kisah hidup orang-orang yang kesuksesannya berawal dari nol. Seperti kisah sang legenda di ilmu pengetahuan, Sir Isaac Newton, dan novelis best selling di seluruh dunia, J.K. Rowling. Dan juga, kisah hidup Syamsul Anwar Harahap, mantan petinju nasional yang cacat tangan kanannya. Mereka semua adalah figur orang-orang yang dalam meraih kesuksesannya penuh dengan perjuangan dan semangat pantang menyerah. Dan, tak bisa dimungkiri bahwa mereka sangat dipengaruhi oleh buku. Kegemaran mereka akan membaca telah membawa dampak yang besar bagi kehidupan mereka.

Pada bab berikutnya, Ngainun Naim menuturkan hasil dari pencerahan. Diawali dengan kutipan novel best seller karya Andrea Hirata, Laskar Pelangi yang fenomenal, tentang perjuangan tokoh Lintang dalam memperoleh pendidikan (hlm. 244-247). Suatu pencerahan dalam pendidikan dapat menimbulkan jejak apabila pelakunya melakukan pembelajaran secara terus-menerus. Otak yang terus-menerus mendapat pelatihan secara akademis akan menjadi lebih sehat dan lebih aktif dalam waktu yang lama (sampai tua). Hal ini merupakan salah satu jejak yang diperoleh dari pencerahan pendidikan.

Pada bab ini juga, Ngainun Naim mengemukakan bahwa pendidikan yang berkualitas tidak harus dengan biaya mahal. Di sini, Ngainun Naim mengambil contoh SMP Qaryah Thayyibah yang didirikan oleh Ahmad Bahrudin di Salatiga. Dan, memang telah terbukti, sekolah dengan biaya murah ini memiliki prestasi dan kualitas yang mampu menyaingi sekolah unggulan sekalipun.

Buku yang secara keseluruhan terdiri dari 5 (lima) bab ini sangat sarat akan makna pendidikan. Dengan bahasa yang lugas dan sederhana, buku ini bisa dengan mudah dimengerti. Tapi tentu saja, perlu perenungan dan pemikiran lebih untuk dapat memahami maksudnya. Kalau hanya membaca secara asal-asalan saja, pembaca tidak akan bisa menemukan inti dari konteks pendidikan yang dikemukakan oleh Ngainun Naim.

Terlalu banyak mengutip pendapat-pendapat besar, buku ini terkesan dipaksakan dan membosankan pada bab-bab awal. Tapi, pada bagian tengah buku ini menjadi lebih menarik untuk dibaca hingga akhir. Ada banyak kejutan di dalamnya. Hal-hal biasa yang biasanya terabaikan, menjadi begitu luar biasa bagi Ngainun Naim.

Di tengah ledakan buku-buku fiksi maupun nonfiksi, buku ini tampak menonjol dan memesona dengan desain sampulnya yang sederhana tapi menimbulkan rasa penasaran akan isinya. Dengan harga yang cukup terjangkau, buku ini merupakan salah satu bacaan yang wajib dibaca oleh semua orang di segala usia karena memang pendidikan tidak mengenal usia. Tua muda, besar kecil, lelaki perempuan, kaya miskin, semua berhak mendapat pendidikan yang layak dan patut prihatin dengan pendidikan di Indonesia. Dan, langkah awal yang bisa ditempuh, tentu saja dengan membaca buku ini.

***

Sekarang, mari kita bahas bagian-bagian dari resensi di atas berdasarkan cara penulisan resensi di post sebelumnya.

  1. Mencatat identitas buku. Bisa dilihat pada resensi di atas, identitas dan sampul buku terletak di bagian atas resensi.
  2. Mencatat dan memahami tujuan dan latar belakang penulisan, dapat dibaca pada paragraf kedua.
  3. Mencatat daftar pokok isi buku secara keseluruhan.
  4. Menganalisis kesesuaian ide-ide pokok yang diuraikan dengan tujuan penulisan buku. Hal ini bisa dilihat dari cuplikan-cuplikan isi buku yang dimuat dalam resensi di atas.
  5. Menentukan kelebihan dan kekurangan buku, yaitu pada 2 paragraf sebelum paragraf terakhir.
  6. Menuliskan hasil catatan dan analisis ke dalam bentuk resensi dengan menggunakan bahasa sendiri secara runtut dan jelas. Hasilnya bisa dilihat dari keseluruhan resensi di atas.
  7. Memberikan saran dan kesimpulan, bisa dilihat pada paragraf terakhir.

Oh, ya, dalam meresensi tidak harus sepanjang dan sedetail seperti contoh di atas. Terlebih, jika yang diresensi adalah buku fiksi. Intinya adalah, menyampaikan hal-hal penting yang paling mendasar dalam resensi, yaitu seperti pada poin-poin di atas ini.

Sekarang, buku apa yang akan kamu buatkan resensinya? 😇
 *Haz, 8 Oktober 2017

Comments

Post a Comment